Banyak pemula bisnis atau usaha perseorangan yang selalu mengatakan bahwa, memulai usaha harus punya modal uang yang besar, mereka takut memulai usahanya karena permasalahan uang untuk modal tersebut, karena berpikirnya modal selalu adalah uang. Akhirnya, punya usaha hanya tinggal angan – angan saja.
Modal uang memang diperlukan, tetapi tidaklah sangat penting. Lalu apa yang paling penting dalam memulai usaha sendiri?
Menurut pendapat saya, modal semangat dan kreatifitas adalah yang paling penting untuk membuat sebuah usaha baru. Pertama kali orang harus punya semangat juang untuk membuat usaha, untuk membuat usaha apa yang cocok untuk dirinya memerlukan kreatifitas. Setelah itu mencari modal yang sesuai dengan kebutuhan besar kecilnya usaha itu. Bahkan dengan modal uang Rp.50.000,- saja juga bisa memulai usaha milik sendiri.
Jika tak punya modal, kita bisa mencari teman untuk diajak berkongsi membangun usaha bersama dengan cara bagi hasil. Modalnya bisa patungan atau bisa juga salah satu menjadi investor. Yang ini bisa dibicarakan sedetail mungkin agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari.
Dalam tulisan ini, saya akan menunjukkan kepada teman – teman pebisnis pemula bahwa ada para pebisnis yng sukses membina bisnis mereka hanya bermodal awal paling besar Rp.1.000.000,- saja, namun sekarang omzetnya sudah mencapai puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah per bulan.
Inilah beberapa pebisnis sukses karena ulet dan kreative itu:
1.Ari Setya Yudha – Seragam Militer
Bisnis yang dijalankan Arie Setya Yudha, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM angkatan 2008 ini sudah tembus pasar dunia. Omzet per bulannya sekarang berkisar Rp 185 juta. Jika awalnya bisnis yang dirintis tahun 2009 ini hanya sendirian kini Arie sudah dibantu 17 karyawan dengan 10 staf dan 7 bagian produksi.
Berangkat dari hobi bermain airsofgun, bisnis seragam militer yang digeluti Arie akhirnya berkembang seperti sekarang ini. Sayangnya, ketika itu untuk bermain airsofgun perlu biaya banyak. Akhirnya, dengan modal uang Rp 280.000 Arie membeli bahan baku berupa kain dan menjahitkannya ke penjahit.
“Pakaian yang sudah jadi itu saya jual lagi di internet sebagai modal. Ternyata responnya luar biasa,” kenang Arie.
Tidak disangka, dengan kualitas desain dan jahitan yang ditawarkan di media online peminat seragam militer Arie juga datang dari pasar luar negeri. Banyaknya ulasan terhadap produk yang dihasilkan maka seragam militer karya Arie ini pun dilirik pasar domestik, salah satunya Polri.
“Gegana Brimob Polri mempercayakan desain seragam taktis kepada kita untuk salah satu detasemennya,” kata mahasiswa asal Pekanbaru ini dikutip oleh Humas UGM Satria Ardhi Nugraha.
Di semester tiga Arie pun mendirikan PT Molay Satrya Indonesia yang bergerak di bidang pengadaan, desain, dan pembuatan perlengkapan taktis terutama seragam taktis. Menurut Arie selain dari kepolisian, produk yang ia namakan Molay tersebut juga diminati oleh tentara, salah satunya TNI-AL dari batalyon Intai Amfibi Marinir.
Kini, produk Molay baik seragam, rompi, topi dan tas sudah merambah di berbagai negara di dunia, seperti AS, Kanada, Austria, Vietnam, Jerman, Italia dan Arab. Setiap bulan kurang lebih 200 stel pakaian berhasil mereka produksi. Itu pun masih jauh dari permintaan yang bisa mencapai lebih dari 500.
“Kuncinya kualitas dan harganya bisa bersaing dengan produk luar,” tuturnya
2.Rismawati – Gula Gait
Rismawati (24 tahun) mulai menggeluti usaha pembuatan permen dengan bahan dasar gula aren dengan modal awal Rp 300.000. Industri permen rumahan ini diberi nama gula gait kini sukses memberinya penghasilan Rp 40 juta per bulan.
Wanita lulusan sekolah tinggi ilmu manajemen Kementerian Perindustrian ini mulai menjalani usahanya sejak 2012 lalu. Dia memilih usaha permen berbahan gula aren karena melihat potensi produk lokal untuk ke depannya bakal lebih diminati.
“Aku pernah baca, kalau ke depannya produk lokal itu jadi best (terbaik) di Indonesia. Makanya saya hadirkan produk asli dari Kertanegara (Kalimantan Timur),” ujar Risma kepada merdeka.com dalam acara Mandiri Wirausaha Muda di Istora Senayan, Jakarta.
Perempuan berjilbab ini mengaku usaha permen gula aren yang dibuatnya memiliki variasi rasa yakni original, wijen, kacang dan jahe. Permen gula gait produksinya ini, lanjut Risma, bermanfaat untuk kesehatan, terutama mengontrol dan membersihkan saluran pencernaan.
3.Vina Kurniasih – Boneka
Ide bisnis bisa datang dari mana saja. Misalnya Vina Kurniasih, dia mendapatkan ide bisnis membuat boneka karena merasa prihatin melihat anak kecil zaman sekarang yang lebih suka bermain gadget. Vina terus memutar otak untuk menciptakan ide baru dalam membuat boneka agar lebih menarik.
Vina tidak main main dengan produk buatannya. Dia membuat boneka secara manual alias menggunakan tangan (handmade) agar produk yang dihasilkan bisa sempurna. Vina berambisi mengalahkan pamor boneka asal Amerika Serikat yakni barbie.
Perempuan 46 tahun ini, mengawali bisnisnya pada 2012 silam. “Saya ingin mengembalikan budaya tradisional itu (anak-anak perempuan bermain boneka),” ujarnya kepada merdeka.com, Jakarta.
Pertama kali memulai usaha ini, Vina menyiapkan modal Rp 700.000. Boneka yang dibuat terdiri dari berbagai macam karakter yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan demi kepuasan konsumen yang bisa membeli boneka sesuai karakter masing-masing.
Omzet boneka ini kini bisa mencapai Rp 60 juta sampai Rp 70 juta per bulannya. “Kami biasanya mempromosikan produk sistem keagenan, saat ini sudah 15 agen di daerah Bogor,” tutupnya.
4.Martin Setiantoko – Sate
Namanya adalah Martin Setiantoko. Kecintaannya pada dunia kuliner membuatnya bercita-cita memiliki restoran sendiri. Sayangnya waktu itu dia nggak punya cukup modal. Setelah menamatkan pendidikan di sekolah kuliner Malang, Jawa Timur, saat berusia 24 tahun, Setiantoko memutuskan mengadu nasib ke Amerika untuk mewujudkan mimpinya memiliki restoran sendiri.
Di Amerika, Setiantoko tinggal di New York dengan uang saku yang hanya tersisa Rp 1 juta. Di sana ia bekerja sebagai seorang tukang cuci piring di sebuah restoran. Pekerjaan itu dijalaninya selama 5 tahun. Setelah modalnya cukup, barulah ia membuka restoran di Virginia. Ia juga merasakan jatuh bangun, sempat bangkrut. Ia juga sakit karena badannya diforsir untuk bekerja keras. Barulah setelah 3 tahun, ia merasakan keuntungan.
Setiantoko yang kreatif nggak berhenti sampai di situ. Ia membeli 2 buah truk dan mengubahnya menjadi food truck dan berjualan di Washington. Beda dengan food truck yang biasa beredar dengan menjual makanan khas Amerika, seperti burger dan hot dog, Setiantoko justru menawarkan kuliner khas Indonesia seperti sate, kari ayam, mia ayam, hingga rendang. Food truck-nya sendiri diberi nama Sate Truck.
Kini usaha kuliner Setiantoko telah berkembang. Saat ini dia memiliki satu restoran dan dua food truck yang berada di lokasi berbeda.
5.Ating Supardi – Surabi
Krisis ekonomi yang melanda Tanah Air tahun 1998 mengguncangkan perekonomian Indonesia. Tidak hanya perusahaan besar terimbas, usaha kecil pun ikut terguncang.
Ating Supardi, pengusaha daging kala itu, harus merelakan usahanya gulung tikar akibat krisis. Dengan lima anak yang masih perlu dibiayai, itu menjadi semangatnya untuk terus berupaya membuka usaha baru.
Dengan bermodal Rp 50.000 kala itu, Ating memberanikan diri membuka usaha makanan khas Bandung yaitu surabi di depan rumahnya.
“Awalnya di rumah. Terus bapak beranikan diri jual surabi sore. Karena kan belum ada yang jual surabi sore. Terus rata-rata yang jual surabi waktu itu nenek-nenek, waktu itu keluarga coba buka siang,” kata pengelola Surabi Imut Dona Lubis kepada merdeka.com.
Menantu pemilik Surabi Imut ini bertutur, bermodal dua varian rasa surabi yaitu surabi oncom dan surabi manis, Ating mulai membuka warung tenda sore hari di trotoar pinggir jalan Sekolah Tinggi Pariwisata NHI Geger Kalong, Bandung.
“Karena lokasinya dekat NHI, kita beranikan terima saran toppingnya macam-macam, jadi banyak gitu toppingnya. Memang kita yang pertama,” kata Dona. Saat ini, Surabi Imut memiliki 54 varian rasa dengan kisaran harga Rp 3.000 hingga Rp 9.000 per surabi.
Tahun 1999 dan 2000 diakui Dona menjadi masa keemasan Surabi Imut. Kala itu, omset rata-rata per hari bisa mencapai Rp 10 juta hingga Rp 12 juta dengan jumlah pegawai mencapai 23 orang.
“Kita sudah tiga kali pindah lokasi, semua dekat NHI. Gak cuma surabi, kita juga jual pisang bakar, colenak,” katanya.
6.Riyadh Ramadhan – Gorengan
Semua orang tentu mengenal makanan gorengan. Bukan hal sulit menemukan penjual gorengan di jalanan. Tidak bisa dipungkiri, banyak orang yang doyan makan gorengan.
Fenomena ini rupanya ditangkap oleh Riyadh Ramadhan, seorang mahasiswa berusia 19 tahun, lulusan SMA Al Hikmah Surabaya. Dia jeli melihat makanan gorengan sebagai potensi untuk berbisnis.
Riyadh menceritakan, aktivitas bisnisnya sebenarnya sudah dimulai sejak dia duduk di bangku Sekolah Dasar. Ketika itu dia biasa menjual mainan anak-anak dan gambar tempel kepada teman-teman sekolahnya. Dia mengatakan inspirasi menjadi pebisnis didapat dari kedua orang tuanya yang juga pebisnis yang sukses mengelola lembaga pendidikan.
Proses Riyadh terjun ke bisnis makanan gorengan ini dimulai ketika dia masih berusia 16 tahun, saat masih duduk di bangku SMA. Tahun 2009, berawal dari hobi memasak dan melihat peluang usaha, dia berinisiatif menjual gorengan kepada teman-teman sekolahnya. Semua itu awalnya dia lakukan secara otodidak.
“Saya melihat di Surabaya banyak penjual gorengan, lalu saya berpikir untuk membikin sendiri,” kata Riyadh.
Dengan restu dan izin kedua orang tuanya, Riyadh memulai bisnis gorengannya di sekolah. Awalnya dia sempat merasa risih dan malu karena banyak teman yang mengejeknya.
Namun dia tetap berpikir positif untuk terus mengembangkan bisnisnya. Setelah berjalan setahun ternyata bisnis gorengannya makin laris hingga dia berpikir untuk membuka kafe gorengan di mal.
Dengan bekal keuntungan setahun dan bantuan dana dari orang tuanya, Riyadh mulai membuka kafe gorengan di salah satu mal di Surabaya dengan nama Go Crunz. Di kafe itu dia menyediakan menu gorengan, seperti kentang, jamur, ayam, dan otak-otak ikan. Selain gorengan, dia juga menyediakan beragam pilihan minuman.
Dengan harga Rp 6.000-Rp 9.000 per kotak yang berisi empat sampai lima gorengan ternyata banyak orang menyukai gorengan Riyadh. Tak seberapa lama, dia pun membuka dua gerai baru.
Dari ketiga gerai itu, total omzet yang didapatnya mencapai Rp 120 juta per bulan, dengan laba sekitar 40 persen dari omzet. Pada Oktober 2010 Riyadh pun resmi menawarkan kemitraan usaha. Hingga kini Riyadh telah memiliki 12 gerai usaha yang tersebar di beberapa kota, antara lain Jakarta, Bekasi, Malang, dan Balikpapan.
7.Darleni – Makanan Ringan
Salah satu usaha makanan ringan di Kota Pekanbaru yang berasal dari industri rumah tangga yakni “Winda Snack” telah bisa merambah pasar Negara Bagian Melaka, negeri jiran Malaysia. Makanan ringan yang diproduksi Darleni antara lain Pisang Salai, Kripik Bawang, Steak Keju, Amplang, Genepo, Kerupuk Malaysia dan Kerupuk Cabe.
“Produk makanan ringan kami ini dibawa oleh seorang agen dari Pekanbaru ke Melaka melalui pedagang eceran antara lain toko penjual oleh-oleh di Bandara Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru,” kata pemilik usaha industri rumah tangga itu, Darleni (50) seperti ditulis Antara.
Dijelaskan Darleni, usaha itu dirintisnya sejak tahun 1998, dimulai dengan pengolahan kue-kue basah seperti Kue Talam, Onde-Onde dan Lemang. Awalnya dia hanya sebatas memenuhi permintaan warung dekat rumahnya.
Bagian dari sukses yang dicapai dimulai dari usaha yang bermodal awal uang pribadi Rp 300 ribu. Setelah laris, usaha itu telah memicu tekadnya untuk terus mengembangkannya pada pengolahan makanan ini ke kue-kue kering.
Dia menyebutkan, aneka kue kering yang diproduksi diantaranya juga Peyek Lacang, Peyek Tempe, Peyek Ikan dan Keripik Pisang. Kemudian barulah bertambah dengan jenis lain menjadi Steak Keju, Amplang, Genepo, Kerupuk Malaysia dan Kerupuk Cabe.
“Kue kering itu dipasarkan selain ke Malaka, juga ke Jakarta, dan berbagai daerah dan kota di Provinsi Riau, dengan sejumlah sentra perbelanjaan modern di Pekanbaru, hingga meraih sejumlah keuntungan,” ungkapnya.
Omzet per bulan kini bisa mencapai Rp 45 juta per hari, atau dengan keuntungan bersih sekitar Rp 450 juta/tahun. Usaha ini dibantu tiga karyawan dengan upah setiap hari Rp 50 ribu per hari dengan pekerjaan menggoreng atau membungkus.
Itulah teman – teman, beberapa usaha yang dimulai dari kreatifitas dan ide – ide yang segar dari pelaku usahanya sendiri, bermodal kecil, namun sekarang sudah menjadi pengusaha besar beromzet puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah pertahun.
Jika teman – teman melihat usaha seseorang, janganlah melihat sekarang sudah menjadi besar, tetapi tengoklah ketika usaha itu baru dimulai. bagaimana mereka merintis dan jatuh bangun dalam membangun bsinis atau usaha itu, dengan demikian, jika kita akan mengikuti jejak mereka, maka kita akan bersemangat. Karena mereka bisa, kenapa kita tidak…?!
Semoga tulisan ini dapat memberi inspirasi kita untuk bersemangat membangun usaha sendiri. jangan tunggu nanti ada uang baru berusaha, tetapi mulailah dari sekarang, mumpung masih muda….!
Salam….
Sumber